Obama sudah resmi menjadi presiden. Pesta akbar demokrasi negeri adidaya itu usai. Sesaat lagi giliran pesta akbar yang sama digelar di negeri kita. Dan, menyeruaklah satu kata keramat yang disebut ”kompetisi”!
Kompetisi tentu sesuatu yang sah saja dalam setiap perjuangan kehidupan, apa pun dimensinya. Tanpa kompetisi, tak akan pernah ada sintesis, tak ada gerak progresif, dan dinamika kehidupan akan jalan di tempat. Kompetisi, mau tak mau, akan melibatkan kegiatan untuk melirik kelemahan pihak lain dan mencari serta menonjolkan kelebihan diri.
Jenis kompetisi kedua disebut kompetisi kontraproduktif—sebuah bentuk kompetisi yang kelewat batas dan hanya melahirkan berbagai competitive disadvantage! Di sini, bentuk kompetisi mempunyai ekses merugikan pihak lain, bahkan menyakiti dan menghancurkan. Kegiatan mencari kelebihan diri bukan hanya bersifat eksplorasi, tetapi sudah eksploitasi.
Sayangnya, jenis kompetisi kedua inilah yang sering terjadi pada bangsa ini, nyaris dalam segenap dimensi kehidupan kemasyarakatan. Secara individual, jenis kompetisi ini sungguh merusak sikap mental, kepribadian, sikap, dan bahkan perilaku. Misalnya, dalam kehidupan dunia kerja.
Karyawan lebih banyak dikuasai kompetisi kontraproduktif. Melihat koleganya naik gaji dengan persentase lebih tinggi, muncul sikap sirik, curiga. Lalu jadi demotivasi, kasak-kusuk, dan bekerja dengan malas—tanpa pernah introspeksi dan mencoba mencari tahu penyebabnya. Bersikap negatif pada perusahaan. Demikian juga ketika temannya mendapatkan promosi. Alih-alih berjuang lebih keras, karyawan tersebut malah mulai melakukan berbagai langkah eksploitatif, mencari, bahkan mengarang, kelemahan untuk menjatuhkan teman yang dipromosi.
Demikian seterusnya, jenis kompetisi inilah yang lebih banyak terjadi pada bangsa ini. Maka, sebagai bangsa, meski telah melewati enam presiden, susah untuk menjadi bangsa besar yang unggul dan progresif. Lebih banyak berputar-putar dan jalan di tempat, bahkan tak jarang sering melukai, merugikan, dan menghancurkan diri sendiri sebagai bangsa.
Dua jenis mentalitas
Mengadaptasi Stephen Covey, kompetisi kontraproduktif ini lebih didasari oleh mentalitas kekurangan (scarcity mentality). Mental yang menganggap bahwa dunia, Bumi, semesta, negeri, tempat kerja, sekolah, dan seterusnya tak punya sumber yang cukup untuk semua orang. Karena itu, mereka berebut, mengeksploitasi, menyakiti, menyikut, menghancurkan untuk lebih dulu mendapatkan segala sesuatu. Dan, sekali lagi, jika orang lain lebih dulu mendapatkan sesuatu, dia akan meradang.
Ada baiknya kita mendengar yang dikatakan Wallace D Wattles, ”Tugas kita bukanlah mencari apa yang telah dimiliki orang lain sebab kita bisa menciptakan apa yang kita inginkan.” Maka, sebagai alternatif dari kompetisi, muncullah kata ”kreasi”. Sungguh, kreasi mempunyai kualitas lebih tinggi dari kompetisi, bahkan yang produktif sekalipun.
Landasan sikap dan perilaku kreasi adalah mentalitas kelimpahan (abundance mentality). Dunia ini punya lebih dari cukup untuk semua orang. Tak perlu berebut, menyakiti, menghancurkan, berkompetisi kontraproduktif untuk menjadi ”pemenang kehidupan terbaik”. Jika jadi karyawan, tugasnya ”cuma” bagaimana ia berikhtiar untuk terus menerus mencipta, berkreasi berdasarkan job description yang diberikan.
Sikap mencipta semacam itu membuat seorang karyawan bukan hanya mampu menjalankan dan memenuhi tuntutan job description-nya, tetapi juga bahkan melahirkan ”karya-karya” menakjubkan yang tak pernah terpikirkan siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Dia akan menjadi karyawan unggul. Ini akan jauh lebih mulia dibandingkan ia hanya sibuk melirik kanan-kiri, mencari kelemahan orang lain, bahkan lupa untuk sekadar memenuhi kewajiban tuntutan job description-nya.
Jadi, bisa disimpulkan, dalam proses pemenuhan tugas kehidupan, ada tiga aras kualitas: kompetisi kontraproduktif (paling rendah dan tidak disarankan), kompetisi produktif (moderate, disarankan), dan kreasi (paling tinggi, diperlukan).
Jika kompetisi (produktif) menghasilkan competitive advantage, kreasi melahirkan creative excellence. Hanya dari sana lahir manusia unggul, karyawan unggul, perusahaan unggul, dan bangsa unggul. Bangsa ini sungguh memerlukan sebuah ”manajemen manusia unggul”!
Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/00404313/manajemen.manusia.unggul
Oleh : Herry Tjahjono Corporate Culture Therapist & President The XO Way
0 comments:
Post a Comment